Kalau tak kenal, maka tak sayang. Demikian ungkapan para penggubah bahasa melayu dalam mengekspresikan apa yang ia telaah, sebagai alat ukur (pemahaman) terhadap keberadaan sesuatu; dengan maksud agar (sesuatu itu) punya nilai lebih (nilai tambah) dan bermakna. Telaahan ini agaknya tepat bila dikaji logika; sebab rasa sayang itu bisa timbul akibat pengenalan lebih dahulu. Tanpa kenal lebih dahulu, tidak mungkin timbul penentuan sikap (sayang) seseorang terhadap apa yang selama ini ia lihat. Justru sayang itu “ada” karena sudah kenal betul. terhadap apa yang ia biasa amati, biasa ia kenali dan biasa ia nikmati melalui panca indranya. Pada proses demikian mulai tumbuh dasar pembentukan selera dan karakter seseorang terhadap suatu obyek.

Para filosuf pun mengkiaskan hal itu dengan bahasa yang sama, yaitu rasa sayang itu repleksi dari kenal. Setara pula dengan ungkapan: ala bisa karena biasa. Kalau tidak terbiasa, tidak mungkin bisa. Bagaimana menjadi bisa karena tidak terbiasa? Justru menjadi bisa karena terbiasa. Pembiasaan dan pengenalan secara continuitas menjadi cikalbakal pembentukan (karakter) seseorang untuk mencintai dan menyayangi. Witing trisno jalaran soko kulino, Witing biso jalaran soko gegladen dan seterusnya; demikian masyarakat jawa menggambarkan kisah pertemanan dua anak manusia yang awalnya biasa saja, namun karena lama saling akrab (bergaul) dapat memunculkan rasa sayang dan mencintai, kemudian berakhir di pelaminan tanpa pandang usia, asal dan derajat.

Saking kentalnya dampak “kebiasaan kenal” dalam skala berkelanjutan, maka QS. At-Taubah: 119 mengisyaratkan sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar”.

Siapakah orang-orang yang benar? Yang punya iman dan taqwa tentunya.

(“Dan perpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa kahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudaraQS. Ali-Imran: 103).

Dalam hal ini, apapun aspek kehidupan, nilai agama itu tetap hakiki, termasuk dalam hal berkesenian dan berkebudayaan itu. Bahwa budaya memilih pertemanan itu hak, Penentuan sikap akan pertemanan mempengaruhi kepribadian / karakter diri sendiri. Karenanya menentukan sikap untuk mengenali dan kembali ke jatidiri bangsa sendiri adalah wajib pula, Terlebih bangsa Indonesia mayoritas umat islam, terbesar di dunia, guna tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa. Aspek jatidiri bangsa meliputi wawasan kebangsaan dengan ragam informasinya, ketahanan nasional, demokrasi, moralitas, HAM, kerukunan beragama, globalisasi, management nasional, otonomi daerah dan kondisi riil bangsa/ Negara Indonesia, sejak dibangunnya pada tahun 1945 hingga kini. Secara garis besar aspek-aspek tersebut diklasifikasikan ke dalam bidang social budaya, bidang ekonomi, politik, keamanan dan kehidupan beragama.

Salah satu aspek penting (bagian jatidiri bangsa indonesia) yang hingga kini belum tersinyalir untuk kita kenali, dijadikan teman kebiasaan adalahaspek social budaya". Aspek sosiak budaya cakupannya luas. Beraneka ragam inspirasi, pemikiran, karya nyata para pejuang mayoritas tokoh umat islam, berupa karya sastra, ide/cerita, cytus bersejarah islami, adalah harta kekayaan bangsa, aset islami yang mawadah warahmah perlu dikenal (digali) dibina dan mengembangkannya menurut kebutuhan (jaman) dan sisi kehidupan masyarakat sekitar.

Jika pada jaman dahulu para pejuang berkorban nyawa untuk kemerdekaan, maka kini berjuang / berprestasi mengolah lingkungan bangsa sendiri dengan berbagai kreasi budaya dan seni islaminya, bersaing dengan bangsa-bangsa lain, guna menunjukkan identitas dan karakter bangsa sendiri yang telah diukir oleh pejuang-pejuang bngsa di masa lalu (bukan meniru atau mengklaim budaya bangsa luar). Jika diamati peran dan fungsi seni budaya itu,, bahwa seluruh aspek kehidupan bangsa terimplikasikan oleh unsur-unsur seni budaya. Artinya setiap aspek (kebudayaan) yang dihasilkan dalam hidup ini tidak pernah luput dari pengaruh unsur seni (berkesenian). Seni itu identik dengan tehnik atau kreatifitas terhadap karya (budaya) agar suatu budaya (hasil karya) nampak lebih indah, rapih, nyaman, sedap dipandang mata sesuai karakter estetikanya.

Bagaimana sebuah karya budaya agar tidak membosankan; maka disitu akan dirubah sesauai selera estetika selanjutnya. Nilai estetika itu (melahirkan) keindahan suatu aspek, memberikan solusi agar aspek itu tetap eksis, bisa dengan iklas diterima sehingga (mengundang rasa tanggungjawab) oleh si pemakai (pemiliknya). Dalam kaitan ini praktek korupsi (KKN dan model kapitalisme), terorisme, oknum disintegrasi bukan bagian dari unsur seni (berkesenian), Di situ terdapat unsur kekerasan, manipulasi dan kesenjangan. Sebab suatu unsur atau aspek budaya bisa dikatakan seni ukurannya adalah, kelembutan, keindahan (asri/sejuk), kenyamanan (aman/tentram), mengacu kepada kerukunan (kesatuan dan persatuan), kebersihan (moral/nurani) dan nilai-niai estetika lainnya yang mampu melahirkan sesuatu, menjunjung tinggi nilai. Nilai seni inilah hendaknya dikembangkan guna memenuhi tuntutan aspek kehidupan.

Bagaimana mungkin setiap aspek bisa dengan mudah menjadi bagian kehidupan jika aspek itu dalam proses persiapan, pemantapan dan pensosialisasiannya tidak lagi bernuansakan seni. Karena unsur seni itulah merupakan salah satu manajemen sosialisasi. Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. (Dirjen Bimas Islam) dalam kupasan jurnalnya mencontohkan bahwa DR. Masaru Emoto, Yokohama – Jepang berhasil membuktikan air yang telah diberi pesan (sugesti) positif dalam ukuran tertentu, lalu disimpam di dalam lemari pendingin, mampu menghasilkan kristal yang sangat indah bentuknya. Sebaliknya jika diberi pesan negatif menghasilkan bentuk kasar tidak beraturan alias buruk.

Penelitian semacam itu menunjukkan pentingnya mereaksikan respon-respon positif dari sugesti-sugesti positif. Respon-respon positif itu adalah seni yang timbul akibat sugesti yang positif pula. Pohon anggrek dipelihara dengan penuh cinta, menghasilkan kembang lebih indah dan lebih harum. Hewan piaraan saja jika dipelihara dengan cinta akan loyal kepada tuannya. Lalu bagaimana memunculkan respon positif (seni budaya) pada diri manusia? Dengan akal dan dayanya manusia mampu mempersonifikasikan apa saja sesuai kebutuhan jaman dan lingkungan sekitarnya. *[Kasi Seni Keagamaan Ditpenais Departemen Agama RI]